Oleh : James Petras**)
Alih Bahasa: Are de Peskim***)
Pada awal tahun 1980-an kelompok-kelompok dalam rezim neoliberal yang cukup paham menyadari bahwa kebijakan-kebijakan yang mereka mabil menyebabkan polarisasi dalam masyarakat dan menimbulkan kditakpuasan social dengan skala yang besar. Maka, para politisi neoliberal mulai mandanai dan memperkenalkan sebuah strategi parallel yang kita sebut “down up”, pengenalan mengenai organisasi akar rumput dengan ideology anti Negara untuk masuk di antara kelas-kelas yang berpotensi menimbulkan konflik, sehingga dapat menciptkan sebuah ketenangan social. Organiasi-organisasi tersebut menggantungkan pendanaannya pada sumber-sumber dana neoliberal yang secara langsung bersaing dengan gerakan-gerakan social-politik untuk merebut kesetiaan pada pemimpin-pemimpin lokal dan aktivis-aktivis komunitas. Pada tahun 1990-an organisasi-organisasi tersebut, digambarkan sebagai “nongovernmental” organisasi yang berjumlah ribuan dan mnerima hampir 4 miliar dolar dari seluruh dunia.
Neoliberalisme dan NGO
Kebingungan seputar karakter politik dari lembaga-lembaga swadaya masyrakat tersebut muncul dari masa-masa awal LSM-LSM tersebut pada decade 1970-an yakni pada masa kediktatoran. Pada masa ini mereka sangat aktif dalam memberikan dukungan kemanusiaan terhadap kepada korban-korban kediktaoran militer dan mengkampanyekan pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.LSM-LSM tersebut mendukung dapur umum yang memungkinkan para keluarga korban bertahan bertahan menghadapi tekanan psikologis yang dilancarkan oleh kediktoran neoliberal. Masa ini menciptakan citra LSm yang sangat bagus bahkan di antara gerakan kiri. Mereka diakui sebagai bagian dari progresif.
Meskipun demikian, batas-batasan LSM Nampak semakin jelas. Di satu sisi mereka menentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kediktatoran lokal namun di sisi lain mereka kadang mengkampanyekan pelindung-pelindung Amerika Serikat dan Eropanya yang mendanai dan membimbing merka. Kedua-duanya bukan merupakan sebuah usaha yang serius untuk menghubungkan kebijakan-kebijakan ekonomi neoliberal dan pelanggaran-pelanggaran HAM dalam bentuk baru dari system imperialis. Tak pelak lagi, sumber-sumber pendanaan eksternal membatasi lingkaran kritisisme dan aksi Hak Asasi Manusia.
Sebagai lawan terhadap neoliberalisme yang tumbuh pada awal tahun 1980-an, pemerintah Amerika Serikat dan negara-negara Eropa serta Bank Dunia meningkatkan pendanaan mereka terhadap NGO-NGO. Ini merupakan sebuah relasi langsung antara gerakan-gerakan sosial yang menentang model neoliberal dan usaha untuk menumbangkan mereka dengan menciptkan sebuah alternative tindakan sosial melalui LSM-LSM tersebut. Poin dasar yang menjadi alasan bersatunya LSM-LSM tersebut dengan Bank Dunia adalah penolakan mereka terhadap apa yang disebut “negaraisme”. Di permukaan, LSM-LSM tersebut mengkritik negara dengan menggunakan perspektif “kiri” yang mempertahankan civil society, sementara itu yang berperspektif kanan melakukan hal yang sama atas nama pasar. Kenyataannya, meskipun demikian, Bank Dunia, rezim-rezim neoliberal, maupun donator-donatur barat bekerja sama dan mendorong LSM-LSM tersebut untuk meruntuhkan negara kesejahteraan dengan memberikan layanan-layanan social sebagai kompensasi bagi para korban korporasi multinasional (MNCs). Dengan kata lain, sementara regime-regime neoliberal yang berkuasa menghancurkan komunitas-komunitas dengan membanjiri negara dengan barang-barang impor yang murah, memaksakan pembayaran hutang luar negeri, penghapusan undang-undang buruh, dan menciptakan massa yang siap dibayar murah dan buruh yang menganggur, di sisi lain LSM-LSM tersebut didanai untuk menciptakan proyek-proyek “kemandirian”, “pendidikan popular”, dan pelatihan kerja, yang kadang-kadang mampu manarik kelompok-kelompok kecil kaum miskin untuk memilih pemimpin-pemimpin lokal, dan menghancurkan perjuangan-perjuangan yang menentang system.
LSM-LSM tersebut menjadi “wajah komunitas” dari neoliberalisme, yang sara intim dekat dengan mereka yang berkuasa dan menggantikan kerja-kerja deskruktif mereka dengan proyek-proyek lokal. Sebetulnya, kaum neoliberal ssedang memainkan “dual strategy”. Parahnya lagi, kebanyakan gerakan kiri lebih focus pada “neliberalisme dari atas” (IMF, WB) dan tidak memperhatikan “neoliberalisme dari bawah” (NGO dan perusahaan berskala kecil). Alasan umum yang diberikan untuk hasil pengamatan ini adalah konversi dari sejumlah eks-Marxist ke dalam formula dan praktek NGO. Anti-negaraisme merupakan sebuah ideology peralihan dari politik kelas ke “community development”, dari Marxisme ke NGO.
Secara khusus, ideologi NGO memposisikan “state power” bertentangan dengan “local power”. Menurut argumentasi mereka, “state power” jauh dari warga negaranya, otonom, bersifat arbitrary dan cenderung mengembangkan kepentingan yang berbeda dengan kepentingan warganegaranya, sementara ”local power” memiliki kebutuhan yang hampir sama dengan warganya dan lebih responsif terhadap rakyatnya. Akan tetapi, terlepas dari persoalan historisnya dimana kemunduran ini pun telah terbukti benar, yang melupakan hubungan yang esensial antara “state power” dan “local power”. Sebuah pandangan sederhana bahwa negara dimiliki oleh sebuah kelompok dominan, dimana kelas yang mengeksploitasi kan menghancurkan inisiatif-inisiatif lokal yang bersifat progresif, sementara kekuatan yang sama di tangan yang progresif akan mampu menguatkan kembali inisiatif-inisiatif tersebut.
Posisi kontradiksi antara “state power” dan “local power” ini digunakan untuk membenarkan posisi NGO sebagai “broker” antara organisasi-organisasi lokal, donator neoliberal asing (World Bank, Eropa, dan Amerika Serikat) serta rezim pasar bebas di tingkatan lokal. Akan tetapi, dampaknya ialah semakin menguatnya rezim neoliberal dengan penguatan hubungan antara organisasai dan perjuangan lokal dengan gerakan politik nasional/internasional. Penekanan pada “aktivitas lokal” memberikan kesempatan kepada rezim-rezim neoliberal karena rezim-rezim tersebut memperbolehkan penyokong-penyokongnya baik domestic maupun asing untuk mendominasi kebiijakan social-ekonomi makro dan menyalurkan sebagaian besar kekayaan negara sebagai subsidi untuk ekspor kapitalis dan lembaga-lebaga financial.
Jadi, ketika kaum neoliberal sedang memindahkan kekayaan-keyaan negara yang sangat menguntungkan ke dalam penguasaan oleh swasta, LSM-LSM tersebut bukan lah merupakan bagian dari perlawanan yang dilancarkan oleh serikat pekerja. Bertentangan dengan itu, mereka sibuk dengan proyek-proyek swasta lokal, mempromosikan wacana mengenai kemandirian kepada komunitas-komunitas lokal dengan memusatkan perhatian pada usaha-usaha kecil menengah. LSM-LSM tersebut membangun jembatan ideologis antara kapitalis-kapitalis kecil dengan monopoli yang menguntungkan dari privatisasi dan semuanya atas nama “anti-negaraisme” dan dan pembangunan masyrakat madani. Sementara mereka yang kaya sibuk mengakumulasikan kerajaan financial yang sangat besar dari privatisasi, LSM-LSM yang merupakan bagian dari kelompok kelas menengah professional mendapatkan jumlah yang sedikit untnuk mendanai kerja-kerja mereka, transportasi dan juga aktivitas-aktivitas ekonomi berskala kecil.
Poin politik yang penting adalah bahwa NGO mendepolitisasi sector-sektor rakyat, menghancurkan komitment mereka terhadap para pegawai negeri, dan memilih pemimpin-pemimpin yang potensial dalam proyek-proyek kecil. LSM-LSM hilang dari perjuangan para guru sekolah negeri, ketika rezim-rezim neoliberal menyerang sekolah-sekolah dan guru-guru negeri. Jarang sekali LSM-LSM mendukung pemogokan-pemogokan dan protes-protes yang menentang upah murah dan pemangkasan anggaran. Karena pendanaan bagi pendidikan mereka dating dari pemerintahan neoliberal, mereka menghindar untuk bersolidaritas terhadap perjuangan para guru negeri. Dalam prakteknya, “non-governmental” beralih menjadi aktivitas-aktivitas yang menolak pendanaan public, membiarkan sebagain besar dana bagi kalangan neoliberal untuk mengsubsidi ekspor oleh kapitalis sedangkan hanya sedikit jumlah dari pemerintah untuk LSM-LSM tersbut.
Pada kenyataannya, orgainsasi-organisasi awadaya masyarakat tersebut bukan lah merupakan organisasi swadaya. Mereka mendapatkan dana dari pemerintahan luar negeri. Seringkali mereka secara terbuka berkolaborasi dengan agen-agen dalam negeri maupun luar negeri. Kontrak tambahan tersbut menghancurkan kaum professional dengan mereka yang memeiliki kontrak tetap dan menggantikan mereka dengan kelompok-kelompok profeisonal. LSM-LSM tersebut tidak mampu menyediakan program-program jangka panjang yang mendasar yang justru dapat disediakan oleh “welfare state”. Malahan, mereka memnyediakan pelayanan yang terbatas pada sekelompok kecil komunitas. Lebih penting lagi, program-program mereka tidak akuntabel terhadap masyarakat lokal melainkan kepada donator-donatur luar negerinya. Dengan cara seperti ini, LSMS-LSM tersebutmenghancurkan demokrasi dengan mengambil alih program-program social dari tangan masyarakat lokal dan pemerintahan yang terpilih untuk menciptakan ketergantungan pada yang “non-elected”, pemerintahan-pemerintah negara lain, dan pemerintah lokal mereka yang telah disogok.
LSM-LSM tersebut mengalihkan perhatian dan perjuangan rakyat dari anggaran nasional dan eksploitasi terhadap diri sendiri (kemandirian) demi mengamankan pelayanan social di tingkat lokal. Hal ini memberikan kesempatan kepada kaum neoliberal untuk memangkas angggaran social dan selanjutnya mengalihkan pendanaan negara untnuk mensubsidi kedit macet bank-bank swasta, serta menyediakan hutang bagi para eksportir. Pemanfaatan kemampuan diri atau kemandirian bermakna bahwa pembayaran pajak kepada negara tidak diimbangi dengan mendapatkan apa-apa dari negara, sementara rakyat pekerja harus melakukan kerja ekstra dengan sumber daya yang terbatas dengan sumber daya yang terbatas serta harus mengeluarkan energy yang sedikit untuk mendapatkan pelayanan yang selanjutnya diterima oleh kalangan borjuis dari negara. Lebih mendasar lagi, ideology LSM-LSM tersebut mengenai aktivitas-aktivitas sukarela oleh swasta mengahncurkan “sense of public” sebuah ide yang menekankan bahwa negera memiliki kewajiban untuk melindungi warga negaranya dan menyediakan bagi mereka kehidupan yang baik, kebebasan, dan kemudahan dalam menemukan kebahagiaan, sehingga tanggung jawab politik negara menjadi sangat penting bagi kebaikan warga negara. Berbeda dengan penekanan pada tanggung jawab public di atas, LSM-LSM tersebut membantu perkembangan pandangan neoliberal mengenai tanggung jawab privat terhadap persoalan-persoalan social dan pentingnya sumber daya privat untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Dampaknya ialah mereka menjatuhkan beban yang berlipat ganda kepada si miskin untuk tetap membayar pajak untuk mendanai negara neoliberal yang melayani si kaya, tetapi “ditelantarkan” dengan kemandiriannya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
LSM-LSM tersebut memberi tekanan pada proyek-proyek dan bukan pada gerakan, jadi mereka memobilisasi kelompok rakyat yang termarginalkan namunbukan untuk berjuang untuk mengontrol alat-alat produksi yang mendasar dan juga kesehatan, memfokuskan diri pada bantuan financial dan teknis dari proyek-proyek tersebut, namun bukan pada kondisi structural yang yang membentuk kehidupan rakyat setiap hari. Mereka memilih untuk menggunakan terminology kiri seperti “kekuatan rakyat/popular power”, “penguatan”, kesetaraan gender”, pembangunan berkelanjutan”, dan “kepemimpinan dari bawah”. Persoalannya adalah terminology-terminologi tersebut dihubingkan pada suatu kerangka kerja yang kolaboratif dengan para donator dan agen-agen pemerintahan asing yang merendahkan aktivitas praktis pada politik yang non-konfrontatif. Aktivitas NGO di tingkat lokal secara alamiah bermakana “empowerment/penguatan” tidak pernah berpengaruh lebih terhadap sebagaian kecil kehidupan social, dengan sumber daya yang terbatas, dan dalam kondisi yang disediakan oleh negara neoliberal dan ekonomi makro.
NGO-NGO dan staf post-Marxistnya yang profesioanal tersebut secara langsung bersaing dengan gerakan social-politik untuk mempengaruhi rakyat miskin, kaum perempuan, dan korban rasial. Secara ideologis maupun dalam prakteknya mereka mengalihkan perhatian dari sumber daya dan jalan keluar dari kemiskinan (bukannya mencari ke dalam dan ke bawah melainkan mencarinya ke atas dan keluar). Untuk usaha kecil menengah, agar terlepas dari eksploitasi oeleh bank-bank asing, soslusinya didasarkan pada penenekanan bahwa masalahnya ada pada inisisatif individual untuk memindahkan pendapatan ke luar negeri. Bantuan dari NGO-NGO tersebut mempengaruhi sejumlah kecil sector dalam masyarakat, memebentuk persaingan antara komunitas-komunitas tersebut untuk sumber daya yang terbatas, melanggengkan distingsi dalam komunitas dan antara komunitas-komunitas tersebut, sehingga menghancurkan solidaritas kelas. Hal yang sama pun terjadi di antara kalangan professional tersebut yang mana masing-masing mengarahkan NGO-nya untuk mendapatkan bantuan asing. Mereka bersaiang mengajukan proposal-proposal yang lebih cocok bagi donator-donatur tersebut atas nama komunitas-komunitas dampingannya.
Dampak utamanya adalah berkembangnya dari NGO-NGO yang mengfragmentasi komunitas-komunitas rakyat miskin ke dalam kelompok-kelompok sektoral dan sub-sektoral yang membuat mereka tidak mampu melihat gambaran social yang lebih besar yang yang menimpa mereka, bahkan sulit untuk menyatukan mereka dalam perjuangan melawan negara. Pengalaman terbaru menggambarkan bahwa donator-donatur asing mendanai proyek-proyek selama krisis politik dan social yang menantang status quo. Ketika gerakan-gerakan tersebut berkurang, mereka mengalihkan pendanaan dengan gaya kolaboratif dengan NGO, menyesuaikan proyek-proyek NGO dalam agenda-agenda neoliberal. Item yang penting dalam agenda pendanaan tersebut ialah bahwa perkembangan ekonomi yang sesuai dengan pasar bebas lebih baik dari pada organisasi-organisasi social untuk perubahan social.
Struktur dan keaslian dari NGO-NGO tersebut dengan bentuknya yang apolitik serta focus mereka pada kemandirian, mendepolitisasi dan mendemobilisasi rakyat miskin. Mereka memperkuat proses electoral yang didorong oleh partai-partai dan media masa neoliberal. Mereka menghindari pendidikan politik mengenai imperialism dan basis kelas bagi neoliberalisme, serta perjuangan kelas antara eksportir dan pekerja temporar. Malahan NGO-NGO tersebut mendiskusikan “mereka yang tersingkirkan”, “kaum yang lemah”, diskriminasi gender atau pun rasial”, tanpa bergerak menghantam kondisi sisitem social yang menciptakan semuanya itu. Dengan melibatkan kaum miskin ke dalam ekonomi neoliberal melalui “tindakan sukarela” seperti ini, NGO-NGO tersebut sedang membangun sebuah dunia politik dimana solidaritas dan tindakan social menyelubungi sebuah kompromi konservatif dengan struktur kekuasaan di tingkat nasionanl maupun internasional.
Ini bukan merupakan sebuah kebetulan jika NGO-NGO tersebut tampak dominan di beberapa daerah, memundurkan tindakan politik kelas yang independen, dan neoliberalisme melaju tanpa perlawanan. Batas minimalnya ialah bahwa pertumbuhan NGO-NGO tersebut terjadi bertepatan dengan meningkatnya pendanaan neoliberal dan semakin dalamnya kemiskinan dimana-mana. Meskipun ada klaim mengenai beberapa keberhasilan di tingkatan lokal, akan tetapi secara keseluruhan tidak melawan kekuatan neoliberlisme dan NGO-NGO tersebut meningkatkan pencarian mereka akan peluang-peluang dalam ruang kosong kekuasaan.
Di sisi lain, perumusan alternative-alternatif pun dihalang-halangi. NGO-NGO tersebut memilih mereka yang sebelumnya tampil memimpin gerilia dan gerakan-gerakan social, serikat dagang dan organisasi-organisasi perempuan. Beberapa di antaranya tanpa diragukan bahkan tertarik dengan ilusi bahwa ini barangkali akan membawa mereka lebih dekat ke pusat kekuasaan yang memungkinkan mereka untuk melakukan hal-hal yang baik. Akan tetapi dalam beberapa kasus, ini disebabkan oleh beberapa tawaran yang mengggiurkan seperti; upah yang lebih tinggi, prestise dan kesempatan dikenal oleh donator luar negeri, kesempatan membangun jaringan dan mengikuti konferensi di luar negeri, dan keamanan relative dari represi. Perbedaannya, gerakan-gerakan social-politik menawarkan sedikit keuntungan material meskipun dengan kepudilan yang lebih besar serta independen, dan yang lebih penting lagi kebebasan untuk melawan system ekonomi-politik yang ada. NGO-NGO tersebut berserta bank-bank asing yang mendukung mereka (Inter-American Development Bank, dan World Bank) menerbitkan newsletter-newsletter yang menyajikan cerita-cerita sukses usaha kecil dan menengah serta proyek-proyek kemandirian tanpa menyebutkan tingginya kegagalan karena berkurangnya konsumsi rakyat, harga murah barang-barang impor yang membanjiri pasar, dan kepentingan untuk menaikkan upah seperti yang terjadi di Meksiko saat ini. Malahan, keberhasilan tersebut hanya berpengaruh bagi fraksi kecil dari keseluruhan rakyat miskin serta hanya menggantikan sebagaian besar yang tidak dapat bersaing dalam pasar yang sama. Meskipun demikian, nilai propaganda dari keberhaslan usaha kecil menengah yang individual ini penting dalam membentuk ilusi bahwa neoliberalisme merupakan sebuah fenomena yang populer. Kekerasan massa meledak di daerah-daerah dimana propaganda menenai keberhasilan usaha kecl menenngah dan semanganat kemandirian belum hegemonic dan NGO-NGO tersebut belum mampu menggeser gerak-gerakan social yang independen.
Akhirnya, NGO-NGO mengembangkan suatu model baru kolonialisme ekonomi dan cultural serta ketergantungan. Desain proyek-proyek mereka, atau minimal pilihan proyeknya tersedia berdasarkan keingingan dan prioritas dari pusat-pusat lembaga imperial. Program-program tersebut disusun dan selanjutnya “dijual” ke komunitas-komunitas. Evaluasi-evaluasinya dilakukan oleh dan untuk kepentingan lembaga-lembaga imperial tersebut. Semua hal, termasuk juga semua orang harus menyesuaikan disiplinnya sesuai kebutuhan evaluasi oleh donator. “Raja-raja muda” baru tersebut bertugas mendampingi dan menjamin kesesuaian dengan target, nilai-nilai, dan ideology-ideologi para pendonor sebagai bentuk penggunaan dana secara tepat. Di tempat-tempat dimana “keberhasilan” Nampak, terjadi juga ketergantungan terhadap pendanaan lanjutan dari luar, yang tanpanyamereka akan bangkrut.
Dalam banyak hal, struktur hirarkis dan bentuk-bentuk transmisi dari “bantuan” dan “pelatihan” tersebut menyerupai bentuk-bentuk karitatif abad ke-19, dengan promoter yang tidak terlalu berbeda dengan para misionaris Kristen. NGO-NGO tersebut menerapkan program-progam mandiri dalam upaya menghancurkan “paternalisme dan ketergantungan” pada negara. Dan, dalam persaingan di antara NGO-NGO tersebut untuk bias menangkap korban-korban neoliberalisme berupa kounitas-komunitas rakyat, mereka menerima subsidi-subdidi penting dari rekan mereka di Eropa dan Amerika Serikat. Ideologi kemandirian nenekankan pergantian peran dari para pejabat dan pekerja public dengan para sukarelawan, dan meningkatnya kontrak-kontrak berjangka bagi para professional. Filosofi yang mendasari intelektual-intelektual NGO adalah untuk mentransformasikan “solidaritas” dalam bentuk kerja sama yang subordinatif dengan makro-ekonomi neoliberalisme, dengan memusatkan perhatian jauh dari kekayaan dan sumber daya negara sebagai kekayaan yang dikuasai kelas tertentu menuju kemandirian oleh rakyat miskin.
Akan tetapi, sementara sebagaian besar NGO terus menjadi intstrument neoliberalisme, ada juga segelintir minoritas yang tetap mencoba mengembangkan strategi alternative yang berkarakter politik kelas dan anti-imperialisme. Kelompok minoritas tersebut tidak menerima dana dari Bank Dunia, atau pun agen-agen pemerintahan Eropa dan Amerika Serikat. Mereka mendukung usaha-usaha untuk menghubungkan kekuatan-kekuatan lokal untuk perjuangan merebut kekuasaan negara. Mereka menghubungkan program-program di tingkatan lokal dengan gerakan social-politik di tingkatan nasional; aksi-aksi pendudukan atas perkebunan-perkebunan besar, mempertahankan kekayaan-kekayaan public dan penguasan nasional dari penguasaan perusaahan multinasional. Mereka memberikan solidaritas politik kepada gerakan-gerakan social termasuk perjuangan pengambilalihan lahan. Mereka mendukung perjuangan perempuan yang berpespektif kelas. Merekamenyadari pentingnya perjuangan politik dalam perjuangan-perjuangan lokal. Mereka percaya bahwa organisasi-organisasi lokal seharusnya bertarung pada level isu nasional dan para aktivis nasional harus akuntabel terhadap aktivis-aktivis lokal.
Beberapa Contoh
Marilah kita uji kebenaran analisis di atas dengan beberapa contoh begaiamana peran NGO dalam kaitannya dengan neoliberalisme dan imperialism.
Bolivia
Pada tahun 1985, peemerintah Bolivia meluncurkan New Economy Policy atau kebijakan ekonomi baru dengan memutuskan; pembekuan upah untuk empat bulan ketika tingkat inflasi berada pada 15,000 persen setiap tahun. NEP membatalkan semua control harga dan mengurangi atau mengakhiri subsidi makanan dan energy. NEP juga meletakkan dasar privatisasi atas kebanyakan perusahaan negara dan pemecatan para pegawai negeri. Pemangkasan secara besar-besaran terhdap program-program kesehatan dan pendidikan serta serta menghapus sebagian besar subsidi sector jasa. Kebijakan penyesuaian structural (SAP) dirancang dan didiktekan oleh Bank Dunia dan IMF serta disetujui oleh pemerintah dan bank-bank Eropa dan Amerika Serikat. Angka kemiskinan meningkat. Ini mendorong terjadinya sejumlah pemogokan masal dan disusul dengan konfrontasi serta tindakan kekerasan. Sebagai tanggapan atas kondisi ini, Bank Dunia, pemerintah negara-negara Eropa serta Amerika Serikat mennyediakan bantuan besar-besaran untuk mendanai “program pengurangan kemiskinan”. Hampir keseluruhan dana tersebut ditujukan secara langsung kepada agensi pemerintahan Bolivia yakni Emergency Social Fund (SEF) yang meneruskannya kepadaNGO-NGO untuk mengimplementasikan program-program tersebut. Jumlah dananya tidak signifikan, namun pada tahun 1990 total bantuan berjumlah $738 juta.
Jumlah NGO di Bolivia pun meningkat secara massif dalam merespon pendanaan internasional yang mengalir, sebelum 1980 jumlahnya 100 namun pada tahun 1992 sudah ada lebih dari 530 NGO. NGO-NGO tersebut dihadapkan secara langsung pada masalah-masalah social yanag diciptakan oleh kebijakan pasar bebas Bank Dunia dan kebijakan pemerintah Bolivia, yang mana tidak mampu diatasasi oleh institusi-institusi negara yang memang sedang kacau. Dari sepuluh juta dollar yang dialokasikan untuk rakyat miskin, hanya 15-20 % yang benar-benar dirasakan bagi rakyat miskin. Selebihnya dipangkas untuk membayar biaya administrative dan upah bagi para aktifis yang bekerja.LSM-LSM di Bolivia berperan sebagai kaki tangan negara neoliberal dalam mengkonsilidasikan kekuatan. Tingkat kemiskinan absolute tetap sama dan dampak structural jangka panjang dari kebijakan-kebijakan neoliberal yang disokong oleh NGO-NGO tersebut. Bukannya memberikan jalan keluar yang tepat bagi persolan kemiskinan, sebaliknya LSM-LSM tesebut menguatkan menysusun ptogram-progam memperkuat keberadaan regime neoliberal dan melemahkan oposisi terhada SAP (structural adjustment programme). LSM-LSM tersebut dengan budget yang besar justru mengeksploitasi kelompok-kelompok yang dirugikan oleh kebijakan rezim dan berhasil meyakinkan beberapa pimpinan oposisi bekerja dengan pemerintah akan menguntungkan. Seorang pengamat yang mengomentari peran NGO dalam program pengentasan kemiskinan berkata demikian; “Jika program-program tersebut tidak dapat memberikan dukungan secara langsung, minimal mampu mengurangi potensi oposisi terhadap pemerintah”.
NGO di sana tahu betul ketika para guru negeri di La Paz bergerak melakukan pemogokan sebagai bentuk protes terhadap upah 50 dolar per bulan dan keterbatasan ruang kelas dalam menampung para murid, ketika kolera dan wabah malaria menyerang pedesaan terjadi, dan program kemandirian yang digala-galakan oleh NGO-NGO tersebut tidak mampu memberikan solusi yang memang harusnya disediakan oleh unit kesehatan public. LSM-LSM tersebut berhasil menarik banyak intelektual-intelektual kiri ke dalam lingkarannya dan berhasil mengubah mereka menjadi pema’af bagi system neoliberal. Seminar yang mereka selenggarakan mengenai “civil society” dan “globalisasi” mengaburkan fakta bahwa mereka yang mengeksploitasi kekayaan rakyat (pemilik pertambangan swasta, eksportir, dan para consultant yang diupah dgn mahal) merupakan bagian dari masyrakat sipil dan bahwa SAP merupakan desain dari imperialis untuk membuka kesempatan menjarah kekayaan alam negara tanpa halangan.
Chili
Ketika Chili berada di bawah kediktatoran Pinochet selama 1973-1989, NGO memainkan peran penting mengkampanyekan pelanggaran HAM, mempersipakan kajian kritis atas model neoliberal dan menyokong dapur-dapur umum dan berbagai macam bentuk program pengentasan kemiskinan. Jumlahnya meningkat seiring dengan semakin masisfnya perjuangan rakyat antara tahun 1982 dan 1986. Secara umum jika mengacu pada ideology yang mereka perjuangkan yakni “demokrasi” dan “kesetaraan dalam perkembangan”. Dari hampir 200 LSM, kurang dari 5 LSM yang menyediakan analisis dan penjelasan yang terperinci mengenai hubungan antara imperialism Amerika Serikat dan kediktatoran, ikatan erat antara bank dunia yang mendanai kebijakan-kebijakan pasar bebas dan tingkat kemiskinan yang jumlahnya 47% keseluruhan masyarakat.
Pada juli 1986 terjadi sebuah serangan yang dinilai sangat berhasil dimana sebuah grup kecil geriliawan hampir membunuh Piochet, dan Amerika Serikat mengirimkan perwakilan mereka (Gelbard) memprakarsai sebuah pemilu transisi anatara sejumlah kelompok konservatif yang beroposisi terhadap Pinochet. Jadwal pemilu ditetapkan, sebuah plebisit pun dipersiapkan, dan partai-partai pemilu pun muncul kembali. Sebuah aliansi tertutup antara Kristen Demokrat dan Sosialis akhirnya memeangkan plebisit, mengakhiri kekuasaan Pinochet (namun tidak untuk kepemimpinannya dalam angkatan bersenjata dan polisi rahasia), yang mana aliansi tersebut kemudian memenangkan kursi presiden.
Gerakan-gerakan sosial yang memainkan peran fital dalam mengakhiri kediktatoran rezim Pinochet akhirnya tersingkir. LSM-LSM tersebut beralih dari mendukung gerakan rakyat menjadi bekerja sama dengan pemerintah. Kelompok ahli Kristen Demokrat dan Sosialis tadi kemudian menjadi meneteri-meneteri. Sebelumnya mereka mengkritik kebijakan pasar bebas Pinochet, namun kemudian mereka menjadi selebrantnya. Mantan Presiden CIEPLAN (sebuah institute besar yang bergerak di bidang kajian) Alejandro Foxley secara terbuka menyatakan akan mengatur ekonomi makro dengan cara yang sama seperti yang diilakukan oleh menterinya Pinochet. LSM-LSM tersebut diinstruksikan oleh pendonor asingnya untuk mengakhiri dukungan mereka pada gerakan komunitas akar rumput dan selanjutnya berkolaborasi dengan rezim sipil yang neoliberal. Sur Profesionales, satu dari LSM terbaik yang bergerak di bidang kajian, mengahasilkan sebah kajian mengenai “kecenderungan terjadinya kekerasan” di pemukiman kumuh, yang mana kemudian dipakai oleh polisi untuk merepresi gerakan-gerakan sosial yang independen. Dua orang dari pimpinan para peneliti tersebut (yang memang spesifikasinya pada gerakan sosial) kemudian menjadi menteri yang mencanangkan kebijakan ekonomi yang menghasilkan ketidaksetaraan pendapatan mim sangat timpang dalam sejarah Chili saat ini.
Jaringan luar LSM dan ambisi dari pimpinannya memainkan peranan penting dalam melemahkan posisi tawar gerakan rakyat. Sebagaian besar pimpinannya menjadi fungsionaris pemerintah yang mempengaruhi pemimpin-pemimpin lokal, sambil mengahncurkan model komunitas rakyat jelata. Lo Hermida seorang wanita yang aktif di pemukinan kumuh menyatakan bahwa hal itu terjadi pada periode pasca pemilu. “LSM-LSM mengatakan kepada kami bahwa oleh karena demokrasi telah tercipta maka tidak perlu lagi menjalankan program dapur umum. Kalian tidak lagi memerlukan kami”. LSM-LSM dengan cepat menyesuaikan aktifitas mereka untuk mendukung rezim pasar bebas yang seolah demokratik. Para fungsionaris LSM melanjutkan penggunaan partisipasi retoriknya untuk mengejar suara bagi partai mereka di pemerintahan sekaligus untuk mengamankan kontrak dengan pemerintah.
Salah satu dampak serangan dari LSM di Chili adalah relasinya dengan gerakan perempuan. Apa yang sebenarnya dimulai sebagai hasil kesepakatan kelompok aktifis 1980-an secara perlahan diambil alih oleh LSM yang mempublikaskan newsletter mahal dari kantor yang mewah. Para pemimpinnya yang hidup dalam pergaulan yang mewah merepresentasikan sedikit dari wanita Chili. Selama Konferensi Feminis Amerika Latin pada tahun1997, sebuah group feminis yang militant dan berasal dari rakyat jelata Chili memberikan sebuah kritik radikal terhadap femeinis-feminis LSM bahwa karena telah dibeli dengan subsidi pemerintah.
Brazil
Gerakan sosial yang paling dinamis di Brasil adalah gerakan pekerja tanpa lahan (MST). Dengan lebih dari 5000 organiser dan ratusan ribu simpatisan serta aktivis gerakan ini terlibat secara langsung dalam pengambilalihan ratusan lahan Selma beberapa tahun. Dalam sebuah koonferensi yang diselenggarakan pada bulan Mei 1996, dimana di dalamnya saya ikut berbicara, peran NGO merupakan bahan perdebatan utama. Perwakilan dari LSM Belanda tampil dan meminta untuk ikut terlibat di dalam MST. Ketika dia berbicara rapat dihentikan sementara waktu. Dia mengatakan bahwa dia mempunyai sebuah proposal pendanaan sebesar 300 dolar untuk mendanai peengembangan komunitas-komunitas dan menuntut untuk terlibat di dalamnya. Dengan cara yang ida pasti, pimpinan MST mengatakan bahwa mereka “not for sale”, dan mereka menginginkan MST mendesain proyek mereka sendiri menurut kebutuhan mereka dan mereka tidak mebutuhkan dampingan LSM.
Sebelumnya, rapat kelompok perempuan yang tergabung dalam MST mendiskuskan pertemuan terkini dengan feminis NGO perkotaan. Feminis MST mengajukan sebuah perjuangan berperspektif kelas, yang mengkombinasikan aksi langsung pendudukan lahan dan perjuangan reforma agrarian dengan kesetaraan jender. Para feminis LSM justru menuntut prempuan-prempuan tersebut memisahkan diri dari organisasinya dan mendukung sebuah program minimalis yakni menjalankan reformasi feminis. Hasil akhirnya adalah sebuah kesepakatan taktis menentang kekerasan rumah tangga, registrasi perempuan sebagai kepala keluarga, serta mendorong kesetaraan jender. Perempuan MST yang kebanyakan merupakan anak-anak petani tak berlahan, merasa bahwa para aktifis LSM tersebut merupakan wanita-wanita karir yang berwatak pemecah belah, tidak memiliki keingingan untuk menantang kebijakan ekonomi-politik elit yang menekan petani. Meskipun demikian kamerad-kamerad priya memiliki sikap kritis, yang menunjukkan secara jelas bahwa meraka merasa lebih tertarik dengan gerakan ketimbang dengan kolaborasi kelas-“feminis” LSM.
Dalam diskusi kami, MST membedakan LSM yang terlibat dalam gerakan (keuangan, sumber dana, dsb) untuk mendanai perjuangan kelas, dan LSM yang yang memecah-belah dan mengucilkan petani, seperti kebanyakan LSM baru yang didanai oleh USAID dan Bank Duniaa
El Salvador
Secara menyeluruh gerakan petani yang militant di Amerika Latin menyatakan kritik yang tajam terhadap peran dan kebijakan sebagaian besar LSM , khsusnya mengenai sikap patron dan dominative yang mereka tunjukkan di belakangnya mereka coba menjilat pada retotika “penguatan rakyat” dan partisipasi. Saya menemukan ini secara langsung selama kunjungan terakhir saya ke El Salvador, dimana saya berkesempatan memberikan seminar untuk Alianza Demokratica Campesino(ADC, Aliansi Petani Demokratik) yang merupakan representasi dari 26 organisasi petani dan buruh tani.
Bagian kerja sama kami ialah pengembangan bersama sebuah proyek pusat penilitian dan pelatiahan yang dikelola secara langsung oleh petani. Bersama dengan sejumlah pimpinan ADC kami mengunjungi sebuah agensi swasta dari Canada, CRC SOGEMA, yang berada di bawah kontrak dengan CIDA, sebuah agensi pemerintahan Canada untuk urusan luar negeri. Mereka menyiapakan sebuah paket bantuan sebesar 25 juta dollar untuk El Salvador. Sebelum kunjungan kami tersebut, seorang pimpinan ADC telah melakukan sebuah diskusi informal dengan salah satu mitra Salvador dari CRC SOGEMA. Dia menjelaskan mengenai proposal tersebut dan pentingnya mendorong sebuah lembaga kajian yang berbasis partisipasi petani. Perwakilan CRC SOGEMA selanjutnya menggambar seorang manusia di atas sepotong kertas. Dia menunjuk ke bagian kepala dan berkata ”Ini LSM, yang mana mereka berpikir, menulis, dan menyiapkan program.” Kemudian dia menunjuk ke bagian tangan dan kaki dan berkata “ini para petani yang mana mereka menyediakan data dan melaksanakan proyek.”
Bagian yang terpisah ini merupakan latar belakang dari pertemuan formal yang kami lakukan dengan pimpinan CRC SOGEMA. Direktornya mengatakan kepada kami bahwa uang selalu ada untuk LSM di Salvador seperti FUNDE (Fundacion Nacional para el Desarollo/ yayasan nasional untuk perkembangan), sebuah konsultan yang berisikan para ahli. Dia mendorong para petani untuk terlibat di dalamnya, karena menurutnya, hal itu akan menguatkan para petani. Wacana yang berkembang ialah bahwa mitra CRC SOGEMA di Salvador yang menunjukkan bentuk hubungan yang sangat buruk antara LSM-LSM (bagian kepala) dan petani (bagian kaki dan tangan) merupakan penghubing antara FUNDE dan SOGEMA. Para pimpinan ADC menanggapi bahwa meskipun FUNDE secara teknis sangat berkompeten, pelatihan dan penelitian yang mereka laksanakan tidak mnyentuh kebutuhan petani dan bersikap paternalistic terhadap petani. Ketika direktur dari Canada bertanya mengenai contoh-contoh riilnya, para pimpinan ADC menghubungkannya dengan proses “ilustrasi political” sebelumnya yang menggunakan gambar manusia dan perannya yang mengalienasikan petani.
Direktur SOGEMA menyatakan bahwa itu merupakan sebuah insiden yang sangat tidak diharpakan terjadi atau disalahtafsirkan, meskipun sebenarnya mereka sudah bekerja sama dengan FUNDE. Jika ADC mengharapkan itu bias memiliki dampak baik mereka sebaiknya mengikuti rapat FUNDE. Para pimpinan ADC menyatakan bahwa perancangan proyek-proyek beserta targetnya dibuat oleh professional kelasmenengah sedangkan para petani diajak untuk bekerja samam dalam penyediaan data serta menghadiri seminar-seminar yang mereka selenggarakan. Dengan agak tersinggung direktur kemudian menutup rapat. Hal ini membuat pimpinan petani-petani tersebut berang dan berkata “Mengapa kami harus percaya bahwa mereka (agensi Canada tersebut) memiliki kepedulian terhadap partisipasi petani, demokrasi, serta semua hal yang terkait dengannya sedangkan mereka telah bekerja dengan LSM yang tidak merepresentasikan seorang petani pun? Hasil kajian tidak akan pernah dibaca oleh seorang petani pun, karna tidak akan relevan bagi perjuangan kami untuk mendapatkan lahan. Ini barangkali merupakan sebuah upaya “modernisasi” dan penipuan agar para petani meninggalkan lahan mereka yang akan diubah menjadi lahan komersil dan kawasan pariwisata.
Kesimpulan
Para manajer LSM memang sangat ahli dalam merancang program-program. Mereka memindahkan retorika baru mengenai “identitas” dan “globalisasi” ke dalam gerakan-gerakan rakyat. Aktifitas dan terbitan-terbitan yang mereka keluarkan sebenarnya mengkampanyekan kerja sama internasional, kemandirian, pengembangan wira usaha untuk sector usaha kecil menengah, dan menyembunyikan ikatan ideologisnya dengan neoliberalisme sambil memaksa rakyat untuk masuk dalam ketergantungan dengan donator asing. Setelah satu decade, kelompok professional tersebut telah mendepolitisasi dan menderadikalisasi seluruh sector kehidupan sosial; seperti perempuan, lingkungan-lingkungan, dan organisasi-organsasi pemuda. Di Peru dan Chili, dimana LSM-LSM telah bertahan lama, gerakan sosialnya justru melemah.
Perjuangan-perjuangan lokal yang mengangkat isu-isu yang dekat dengan mereka merupakan makanan dan suplemen yang membuktikan kebutuhan akan gerakan-gerakan. LSM-LSM tentunya menekankan kerjanya di tingkatan lokal, namun pertanyaan krusialnya adalah apa bentuk tindakan langsung di tingkat lokal yang akan diambil: apakah mereka akan mengangkat isu yang lebih besar dari system sosial dan menghubungkannya dengan kekuatan-kekuatan lokal lainnya dan membenturkannya dengan negara dan pendukung iperialnya atau apakah mereka akan berbalik arah, mengemis pada donator-donatur asing dan memecahbelahkan diri sendiri dengan terlibat dalam competisi mengajukan permohonan kepada lembaga-lembaga donor asing. Ideology merupakan hal terakhir.
Intelektual-intelektual LSM sering menulis mengenai “kerja sama” namun tanpa fondasi yang layak untuk mengamankan kerja sama rezim neoliberal dan lembaga-lembaga pendanaan asing. Dengan perannya sebagai mediator dan broker, berburu pendanaan asing dan menyesuaikan pendanaan dengan proyek-proyek yang dapat diterima oleh para donator dan dan penerima lokal mereka, yang mana “pengusaha-pengusaha pendanaan” diminta dalam model politik baru yang sama dengan kontrak kerja sama seperti pada masa lalu seperti mengumpulkan kaum perempuan untuk kemudian diberi pelaatiahn membangun usaha kecil menengah yang berada di bawah ikatan dengan produsen-produsen yang lebih besar atau para ekspotir yang mempekerjakan buruh dengan upah yang murah. Model politik baru yang dijalankan oleh LSM-LSM tersebut pada dasarnya merupakan model politik komprador: mereka tidak menghasilkan produk nasional, sebaliknya mereka membantu menbangun hubungan antara donator asing dengan buruh lokal (usah kecil menengah mandiri) untuk memberikan ruang bagi kelanjutan rezim neoliberal. Para manajer LSM-LSM tersebut merupakan actor-aktor politik yang proyek-proyek maupun pelatihan-pelatihannya tidak memberikan dampak ekonomis dalam meningkatkan pendapatan kaum buruh dan tani. Sebaliknya kativitas-aktivitas yang mereka jalankan justru mengalihkan magerak antara pragmatism syrakat dari perjuangan kelas menuju kolaborasi dengan para penindasnya.
Untuk membenarkan pendekatan ini, kita bias melihat ideology-ideologi LSM yang bekisar antara “pragmatism” atau “realism”, mendukung kemunduran gerakan kiri revolusioner dan meanggungkan kejayaan kapitalisme di Timur, “krisis marxisme”, ketiadaan alternative perjuangan gerakan rakyat, menguatnya Amerika Serikat, serta kudeta dan represi oleh mliter. Kenisbian ini dugunakan untuk meyakinkan gerakan kiri agar mau bekerja di antara celah-celah pasar bebas yang diatur oleh Bank Dunia dengan penyesuaian strukturalnya serta untuk membatasi aktifitas politik hanya dengan parameter electoral yang diselenggarakan oleh junta militer.
Ketidakmungkinan yang pesimistik mengenai ideology LSM ini ada pada satu sisi. Mereka memfokuskan diri pada kejayaan pemilu neoliberal dan tidak pada aksi protes paska momentum electoral serta pemogokan-pemogokan umum yang memobilisasi massa rakyat dalam jumlah besar sebagai bentuk gerakan ekstra-parlementer. Tidak hanya itu, mereka selalu melihat pada kehancuran komunisme abad 18 namun tidak melihat kebangkitan kembali gerakan-gerakan sosial yang radikal pada pertengahan abad 19. Mereka selalu menggambarkan ketikdakleluasan tentara bergerak di antara politisi-politisi hasil pemDilu tanpa melihat perlawanan yang dilancarkan oleh geriliawan Zapatista terhadap kekuatan militer, perang kota di Caracas, serta pemogokan umum di Bolivia. Kesimpulanya,mereka memperhatikan dinamika perjuanganyang dimulai dari sector-sektor atau tingkatan lokal dengan menggunakan pemilu yang dijalankan militer sebagai parameter yang kemudian didorong melampaui batasan-batasan tersebut dengan sejumlah kegagalan mereka untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan mendasar raykat.
Pragmatisme LSM ini sesuai dengan eksterimisme neiloberal. Dekade 1990-an meenyajikan sebuah radikalisasi kebijakan neoliberal, yang didesain untuk mencegah krisis dengan mengambil alih lebih banyak peluang investasi dan spekulasi yang menguntungkan kepada bank-bank asing dan perusahaan multinasional seperti investasi minyak di Brazil, Argentina, Meksiko, Venezuela, upah murah dan ketiadaan jaminana sosial, pengurangan pajak yang besar, dan penghapusan sejumlah regulasi yang protektif. Struktur kelas kontemporer di Amerika Latin memang lebih kaku dan negara memang lebih menyatu sebagai representasi kelas yang berkuasa dari pada biasanya. Ironisnya neoliberalisme menciptakan sebuah polarisasi dalam struktur kelas yang pada dasarnya lebih sesuai dengan cara pandang Marxisme ketimbang ideology LSM.
Itulah sesabnya mengapa Marxisme manawarkan sebuah benuk alternative dari NGO-isme ini. Dan di Amerika Latin masih ada intelektual-intelektual Marxist yang tetap menulis dan mengkampanyekan gerakan sosial dalam perjuangan, yang dijalankan dengan konsekuensi politik yang sama. Mereka adalah intelektual-intelektual organic yang merupakan bagian mendasar dari gerakan yang merupkan sumber-sumber penyedia analisis bagi rakyat dan pendidikan bagi perjuangan kelas sebagai lawan dari intlektual-intelektual “post-Marxist” yang berada dalam lingkaran LSM-LSM yang melekat pada lembaga-lembaga dunia, seminar-seminar akademik, lembaga bantuan asing, dan konferensi internasional. Intelektual-intelektual Marxist tersebut menyadari bahwa kesatuan perjuangan-perjuangan lokal namun mereka juga mengetahu bahwa kesuksesan perjuangan-perjuangan tersebut tergantung pada kualitas besarny aatau kecilnya konflik kelas antara kelas-kelas dalam kekuasan negara pada level nasional.
Apa yang mereka tawarkan bukanlah sebuah solidaritas hirarkis dari bantuan asing dengan neoliberalismenya, melainkan sebuah solidaritas kelas, dan dari dalam kelas itu sendiri, sebuah solidaritas dari kelompok-kelompok tertindas (perempuan dan kaum kulit berwarna) yang menentang mereka yang suka mengeksploitasi entah itu yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Fokus utamanya tidak pada donasi yang memecah belah kelas dan menguntung sebuah kelompok kecil untuk waktu yang terbatas, tetapi pada tindakan bersama oleh anggota kelas yang sama, dengan ekonomi bersama, yang merupakan sebuah perjuangan berbahaya bagi kemajuan bersama.
Kekuatan dari ktitik yang dilancarkan oleh intelektual-intelektual Marxist ditempatkan dalam kenyataan bahwa ide mereka sejalan dengan perubahan realitas sosial. Polarisasi kelas sedang berlangsung dan meningkatnya konfrontasi menggunakan kekerasan semakin nyata sehingga ketika kaum Marxist ini dalam hal jumlah mereka lemah secara institusional namun mereka menguat dalam hal strategi ketika mereka mulai berhubungan dengan generasi baru pejuang revolusioner, dari Zapatista di Meksiko sampai MST di Brazil.
*) Tulisan ini diambil dari http://petras.lahaine.org/ dengan judul asli “Imperialism and NGO’s in Latin America
**) James Petras adalah seorang mantan guru besar Sosiologi di Binghamtom University dan juga professor pembantu di Saint Mary’s University di Kanada. Menulis berbagai macam analisis mengenai Amerika Latin dan Timur Tengah.
**) Are de Peskim adalah mahasiswa FKIP Bahasa Inggris UNDANA dan juga aktivis Liga Mahasiswa Naional untuk Demokrasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar