06/08/12

Sarkasme Elit dalam Politik Identitas (catatan anak muda mengenai Pilkada Kota Kupang)

 Are de Peskim
Penerapan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan ruang kepada partisipasi rakyat secara langsung untuk menentukan kepala daerahnya sendiri. Berbeda dengan sebelum diberlakukannya undang-undang tersebut, yang mana hak pilih publik diklaim terepresentasikan dalam tubuh lembaga legislatif di tingkat daerah yang karenannya berwenang memilih kepala dan wakil kepala daerah. Implementasi regulasi di atas dalam konteks Kota Kupang yang saat ini sedang mempersiapkan diri untuk momentum elektoral tersebut memberi dua makna; pertama, momentum elektoral (baca: Pilkada) 2012 merupakan “momen kekuasaan rakyat” yang menyediakan kesempatan bagi rakyat berpartisipasi langsung menetukan nasibnya selama lima tahun ke depan dan oleh karenanya harus dimanfaatkan sebaik mungkin mengingat demokrasi di Indonesia membatasi peran politik khalayak dalam penyelenggaraan negara hanya pada pemilu semata dan kedua, bahwa pilihan politik merupakan sintesis antara harapan konstituen dan tawaran politik para kandidat. Sementara itu, di sisi lain ada sejumlah kecemasan terkait Pilkada dan cita-cita bonum communae, salah satu diantaranya adalah mengenai nuansa politik identitas primordial yang kental dalam proses ini, yang tentunya tidak sejalan dengan cita-cita demokrasi akan kekuasaan rakyat dan bukan kekuasaan golongan atau etnik tertentu. Ini merupakan kecemasan akan terjadinya penyempitan harapan politik rakyat.
Politik Identitas: Karya Artifisial Elit
Cressida Heyes (dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2007) menyatakan bahwa politik identitas adalah, tindakan politis untuk mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu kelompok tertentu karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, baik berbasiskan pada ras, etnisitas, jender, atau keagamaaam. Salah satu bentuk politik identitas ini adalah politik primordial yang dapat kita saksikan dalam bentuk konsolidasi demokrasi berbasiskan suku, ras dan agama. Biasanya politik identitas primordial ini terbentuk karena dua alasan yakni mandeknya institusi lama dalam menyediakan  kesejahteraan dan keadilan sosial bagi rakyat serta mobilisasi elit demi pencitraan politik.   

Di Indonesia politik primordial ini bukanlah hal baru. Banyak kekuatan politik nasional, mengekspliotasi identitas keagamaan dan golongan sebagai sarana meraih kemenangan politik. Di Kota Kupang misalnya, kita dapat menyaksikan pengelompokkan rakyat ke dalam organisasi-organiasi berdasarkan etnik-etnik baik itu berentuk paguyuban, kelompok arisan ataupun organisasi mahasiswa. Sejak gong pilkada ditabuh, intensitas aktifitas sosial maupun politik dari organisasi-organisasi tersebut mengalami peningkatan, apalagi mereka yang mendaftarkan diri di partai-partai atau pun maju secara idependen merupakan tokoh-tokoh unggul yang merepresentasikan elemen primordial tertentu, baik itu etnik, agama, atau pun gender. Bahkan, kelompok-kelompok etnik tersebut selanjutnya bergabung dalam tim pemenangan tokoh yang mewakilinya. Dengan demikian kita menemukan beberapa elemen penentu dalam rekayasa politik identitas primordial, yang pertama ialah kepemimpinan atau pemimpin dan yang kedua adalah organisasi untuk mobilisasi.
Akan tetapi dua faktor utama ini tentu tidak akan berhasil tanpa ditunjang oleh faktor ketiga yakni partai sebagai alat politik demokratis (gudang elit). Partai berperan besar dalam memelihara politik identitas dalam pilkada ini oleh karena mayoritas kandidat yang maju dalam pilkada ini menggunakan partai sebagai pintu politiknya. Tulisan Yoyarib Mau berjudul Partai Politik Penghasil Swing Leader (Timex, 15 Februari 2012) memaparkan konstruksi primordial yang terbentuk dalam tubuh sejumlah partai di NTT, seperti PDIP sebagai partai orang Flores, Demokrat sebagai alat politik etnik Sabu, dan Gerindra yang identik dengan orang Timor, serta Golkar yang kuasai politisi berdarah Rote semakin membenarkan peran partai politik di tingkat lokal dalam menciptakan politik identitas. Selain itu, menimbang peran partai dalam menetapkan para “petarung”-nya, dengan mekanisme fit and propert test serta survei yang tertutup dalam hal standar dan aspek penilaian, nampak sekali landasan pragmatis yang dipakai adalah kemenangan politik semata, tanpa ada niat membangun budaya politik demokrasi yang lebih baik. Ini menunjukkan watak politik elit yang sarkastik: liar dan destruktif serta menyesatkan rakyat.

Politik Identitas vs Politik Rakyat

Model politik seperti ini, tidak dapat lagi hanya disebut sebagai warisan politik Orba, tetapi merupakan cacat bawaan dari demokrasi prosedural yang sedang kita anut saat ini. Demos (Lembaga Kajian Demokrasi dan Hak Asasi Manusia) melalui film edukasi berjudul “Ayo Ikutan Politik” (2006) menyatakan bahwa demokrasi prosedural di Indonesia ternyata tidak sejalan dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Ini terjadi oleh karena “pembajakan” terhadap demokrasi oleh elit dan dijauhkannya rakyat dari ruang-ruang politik. Dominasi elit ini memberikan mereka ruang lebih besar untuk mengkotak-kotakkan rakyat demi kepentingan mereka semata termasuk dengan merekayasa politik identitas.
Pemanfaatan identitas primordial dan prasangka-prasangka agama serta gender dalam pilkada ini menyebabkan kita berkutat dalam jegal-menjegal antara elit yang terjadi melalui pemanfaatan isu korupsi, kesalahan-kesalahan masa lalu dari kandidiat tertentu, keunggulan para kandidiat dari segi jenis kelamin, profesi atau pun keunggulan etnik masing-masing serta moral politik para kandidiat atau mereka yang mendukungnya. Sebaliknya, perdebatan-perdebatan seputar problem rakyat Kota Kupang dan kebutuhan mendesak lima tahun ke depan (programatik) seakan jauh dari diskursus kita. Oleh karena itu dimajukkan suatu perspektif politik yang baru yang berbasis rakyat. Model ini dapat dilakukan dengan dua cara; pertama, pelibatan seluruh segmen gerakan kerakyatan entah itu organisasi mahasiswa atau organisasi masyrakat lainnya, LSM, akademisi serta institusi sosial masyarakat sampai dengan tingkat RT/RW untuk memperjuangkan kepentingan rakyat Kota Kupang. Kedua, adalah dengan mengajukan program-program alternatif yang berpihak kepada rakyat ke seluruh rakyat. Dua hal ini memberikan kesempatan kepada kita untuk mengubah perspektif identitas yang sempit dengan perspektif yang lebihi luas serta mengantisipasi potensi terjadinya peruncingan-peruncingan politik antara rakyat yang kemudian berujuang pada konflik. Ini lah tugas kita yang menginginkan demokrasi (kekuasaan rakyat).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar